Berkat
kerajaan adikuasa masa klasik, kita (seharusnya) bisa mendapatkan teladan
menghargai hidup rukun bersama beragam budaya dan agama.
Bagian poster National Geographic
Indonesia edisi September 2012 yang menggambarkan suasana multikulturalisme di
Ibu Kota Majapahit (Seni: Sandy Solihin)
“Majapahit
dibentuk dalam budaya multikultur,” ungkap Guru Besar bidang arkeologi Hariani
Santiko sambil membelai kucing persia
kesayangannya sementara kucing-kucing lainnya seolah berlomba mencari
perhatian. Meskipun telah pensiun sebagai dosen di Universitas Indonesia ,
hingga kini dia masih terlibat aktif dalam berbagai penelitian.
Pada
masa keemasan dalam takhta Hayam Wuruk dengan gelar Rajasanagara yang
didampingi Mahapatih Gajah Mada, Majapahit telah berhasil dalam menghimpun
kerja sama dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Meski sang mahapatih
hanya mendampingi selama 14 tahun, keberhasilan ini tidak hanya dalam hal
politik atau keamanan regional, tetapi juga dalam perdagangan.
Majapahit
berkepentingan mengamankan wilayah kerajaan-kerajaan lain karena kerajaan
adikuasa itu membutuhkan pasar untuk menjual hasil buminya, sekaligus
membutuhkan sumber daya dari kerajaan lain yang berpotensi untuk perdagangan.
“Dengan adanya konsep politik Gajah Mada, maka terjadilah hubungan dagang,” ungkapnya, “sehingga masyarakat Majapahit menjadi multikultur.” Majapahit berkembang menjadi sebuah metropolitan, tempat beragam budaya dan agama bertemu dan membentuk kehidupankota .
“Dengan adanya konsep politik Gajah Mada, maka terjadilah hubungan dagang,” ungkapnya, “sehingga masyarakat Majapahit menjadi multikultur.” Majapahit berkembang menjadi sebuah metropolitan, tempat beragam budaya dan agama bertemu dan membentuk kehidupan
Gambaran
ragam budaya yang hidup bersama di Majapahit dituliskan oleh Prapanca dalam
Kakawin Nagarakertagama pada 1365, “Itulah
sebabnya berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung dari Jumbudwipa (India),
Kamboja, Cina, Yamana, Campa, dan Goda, serta Saim. Mereka mengarungi
lautan bersama para pedagang, resi, dan pendeta, semua merasa puas, menatap
dengan senang.”
Hariani
menambahkan, walaupun belum sebagai “poli bangsa” di Kerajaan Majapahit,
pendatang asing telah menjadi perhatian Rajasanagara. “Mungkin para
pendatang dari berbagai bangsa itu bertempat tinggal di Trowulan,” ungkap
Santiko, “Hayam Wuruk mengangkat seorang pejabat yang disebut Juru Kling untuk
mengatur para pendatang.”
Koin Cina dari Sung
Selatan sekitar 1237-1240, dikeluarkan pada periode Chia Hsi. Koin ini ditemukan
di permukiman kuno Sentonorejo, Trowulan, tatkala para ahli arkeologi melakukan
penggalian. Sentonorejo diperkirakan bagian dari Keraton Majapahit. (Mahandis
Y. Thamrin/NGI)
Rajasanagara
telah “menempatkan rumah ibadah yang akhirnya membentuk tata kota Majapahit: Sebelah timur untuk
Siwa, sedangkan sebelah Barat untuk Buddha,” kata Hariani. Untuk menjaga
hegemoninya, setiap tahun sang raja juga berkeliling ke tempat-tempat yang
berbeda, dari kota
pelabuhan hingga tempat pertapaan pendeta Siwa di gunung-gunung.
Raja-raja
di Majapahit, khususnya Rajasanagara, mempunyai kebijakan untuk mengatur
kehidupan multiagama. Dalam sebuah peraturan dipaparkan tujuan kebijakan
tersebut adalah saling menghargai antaragama, mencegah konflik sosial-agama
atau manajemen konflik, dan menunjukkan sifat toleransi yang menghargai
perbedaan.
Maraknya
perseteruan antarbudaya dan antaragama atau antarkeyakinan akhir-akhir ini
tampaknya membuat kita berpikir dan menengok kembali ke masa lalu. Pemahaman
keragaman budaya membantu kita memaknai perbedaan dan sanggup berhubungan
lintas batas. Apakah kita lupa karena dilenakan zaman, bahwa leluhur kita
telah meneladankan kearifan hidup dalam keberagaman? “Dengan contoh-contoh
kesejarahan, kita dapat mengingatkan jatidiri bangsa,” tulis Hariani dalam
sebuah catatannya.
National Geographic Indonesia edisi September 2012 menyelisik keindahan dan
kearifan Ibu Kota Majapahit dalam kisah “Metropolitan yang Hilang.” Dalam edisi ini tersisip pula bonus
peta dua sisi yang menampilkan sisi panorama kota agung itu dengan jaringan kanalnya dan
rekonstruksi permukiman berdasar penelitian arkeologi. Tak hanya itu, kisah ini
juga mengungkap makna "Nusantara" dan skandal ilmiah dalam penyusunan
sejarah Majapahit.
(Mahandis
Y. Thamrin/NGI)
No comments:
Post a Comment