Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga

Nama dan Asal-Usul

Pada waktu muda Sunan Kalijaga bernama Raden Said atau Jaka Said. Kemudian ia disebut juga dengan nama Syekh Malaya, Lokajaya, Raden Abdurraman dan Pangeran Tuban. Di dalam Babad Tanah Jawi disebut bahwa Raden Said adalah putra Tumenggung Wilatikta, Adipati Tuban.
Sedangkan Arya Wilatikta, ayah Sunan Kalijaga, menurut Babad Tuban, adalah putra Arya Teja. Disebutkan pula bahwa Arya Teja bukanlah seorang pribumi jawa. Ia berasal dari kalangan masyarakat Arab dan merupakan seorang ulama. Ia berhasil mengislamkan Raja Tuban, Arya Dikara, dan memperoleh seorang putrinya. Dengan jalan ini ia akhirnya berhasil menjadi kepala negara Tuban, menggunakan kedudukan mertuanya. Akan tetapi Babad Tuban tidak menjelaskan mengenai asal-usul Arya Wilatikta, ayahanda Sunan Kalijaga itu.

Dalam Babad Cerbon naskah Nr. 36 koleksi Brandes, dijumpai keterangan bahwa ayahanda Sunan Kalijaga bernama Arya Sidik, dijuluki “Arya ing Tuban” Arya Sadik dipastikan merupakan perubahan dari nama Arya Sidik, dan nama ini merupakan nama asli dari ayahanda Sunan Kalijaga, yang menurut Babad Tuban bukan seorang pribumi jawa, melainkan berasal dari kalangan masyarakat Arab dan merupakan seorang ulama.
Tahun kelahiran serta wafat Sunan Kalijaga belum dapat dipastikan, hanya diperkirakan ia mencapai usia lanjut. Diperkirakan ia lahir ± 1450 M berdasarkan atas suatu sumber yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga kawin dengan putri Sunan Ampel pada usia ±20 tahun, yakni tahun 1470. Sedangkan Sunan Ampel lahir pada tahun 1401 dan mempunyai anak wanita yang dikawini oleh Sunan Kalijaga itu pada waktu ia berusia 50 tahun.

Masa hidupnya mengalami 3 masa pemerintahan, yaitu masa akhir Majapahit, zaman Kasultanna Demak dan Kasultanan Pajang. Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M, kemudian disusul Kasultanan  Demak berdiri pada tahun 1481-1546 M, dan disusul pula Kasultanan Pajang yang diperkirakan berakhir pada t ahun 1568 M. diperkirakan, pada tahun 1580 M Sunan Kalijaga wafat. Hal ini dapat dihubungkan dengan gelar kepala Perdikan Kadilangu semula adalah Sunan Hadi, tetapi pada Mas Jolang di Mataram (1601-1603), gelar itu diganti dengan sebutan Panembahan Hadi. Dengan demikian, Sunan Kalijaga sudah diganti putranya sebagai Kepala Perdikan Kadilangu sebelum zaman mas Jolang yaitu sejak berdirinya kesultanan Mataram pemerintahan Panembahan Senopati atau Sutawijaya (1675-1601). Dan pada awal pemerintahan Mataram, menurut Babad Tanah Jawi versi Meisma, dinyatakan Sunan Kalijaga pernah datang ke tempat kediaman Panembahan Senopati di Mataram memberikan saran bagaimana cara membangun kota.
Dengan demikian, Sunan Kalijaga diperkirakan hidupnya lebih dari 100 tahun lamanya yakni sejak pertengahan abad ke-15sampai dengan akhir abad 16.

Tentang asal-usul keturunannya, ada beberapa pendapat, ada yang menyatakan keturunan arab asli, yang lain menyatakan keturunan Cina, dan ada pula yang menyatakan keturunan Jawa asli. Masing-msing pendapat mempunyai sumber yang berbeda.
Dalam buku “De Handramaut et les Colonies Arabes dan’l Archipel Indian” Karya Mr. C.L.N. Van den Berg, Sunan Kalijaga disebutkan sebagai keturunan Arab asli. Bahkan di dalam buku tersebut tidak hanya Sunan Kalijaga saja yang dinyatakan sebagai keturunan Arab, tetapi juga semua Wali di Jawa.
Menurut buku tersebut, silsilah Sunan Kalijaga adalah sebagai berikut: Abdul Muthalib (nenek moyang Muhammad saw) berputra Abbas, berputra Abdul Wakhid, berputra Mudzakir, berputra Abdullah, berputra Kharmia, berputra Mubarrak, berputra Abdullah, berputra Madhra’uf, berputra Arifin, berputra Hasanudin, berputra Jamal, berputra Akhmad, berputra Abdullah, berputra Abbas, berputra Kouramas, berputra Abdur rakhim (Aria Teja, Bupati Tuban) berputra Teja Laku (Bupati Majapahit), berptra Lembu Kusuma (Bupati Tuban), berputra Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban), berputra Raden Mas Said (Sunann Kalijaga).

Kemudian pendapat yang menyatakan Sunan Kalijaga sebagia keturunan Cina di dasarkan atas buku “Kumpulan Cerita Lama dari kota Wali (Demak)” yang ditulis oleh S. Sunan Kalijaga sewaktu kecil bernama Said. Dia adalah keturunan seorang cina bernama Oei Tiktoo yang mempunyai putra bernama Wiratikta (Bupati Tuban). Bupati Wiratikta ini mempunyai anak laki-laki bernama Oei Sam Ik, dan terakhir di panggil Said.

Sedangkan pendapat yang menyatakan Sunan Kalijaga berdarah jawa asli, didasarkan atas sumber keterangan yang berasal dari keturunan Sunan Kalijaga sendiri. Silsilah menurut pendapat ketiga ini menyatakan bahwa moyang “Kalijaga adalah salah seorang panglima Raden Wijaya, raja pertama majapahit, yakni Ronggolawe yang kemudian diangkat menjadi Bupati Tuban. Seterusnya adipati Ronggolawe (Bupati Tuban), berputra Aria Teja I (bupati Tuban) berputra Aria Teja II (Bupati Tuban), berputra Aria Teja III (Bupati Tuban), berputra Raden Tumenggung Wilwatikta (Bupati Tuban), berputra Raden Mas Said (Sunan Klijaga). Menurut keterangan berdasar bukti yang ada pada makam, Aria Teja I dan II masih memeluk agama Syiwa, sedangkan Aria Teja III sudah memeluk Islam.

Terhadap pendapat-pendapat tersebut, terdapat sanggahan-sanggahan, terutama terhadap endapat yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga, dan juga para wali yang lain, adalah keturunan cina. Di antara para ahli yang menyatakan bahwa pendapat itu tidak benar adalah Prof. D.W.J. Drewes. Beliau adalah bekas guru Besar Sastra Arab di Fakultas der Aleteren pada Universitas Leiden dan berkas ketua Oosters Genooschap di Nederland, lahir pada tahun 1899 pernah memimpin balai pustaka (1930) di Jakarta danmenjadi guru besar Hukum Islam di Indonesia, dan sampai tahun 1970 beliau menjadi Guru Besar di Universitas Leiden, Nederland. Tanggapannya terhadap Prof. Dr. Slamet Mulyono yang menyatakan bahwa para wali adalah keturunan bahwa para wali adalah keturunan Cina adalah tidak benar, karena tidak mempunyai bukti. Sumber-sumber yang diambil yakni dari Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, Kronik Cina dari Klenteng Semarang dan Talang, semua sumber itu tidak pernah dipeakai oleh padra sarjana sejarah. Sementara, sumber dari Reseden Poortman sudah lewat tangan ketiga.
Kemudian Prof. Dr. Tujimah, Guru Besar dalam Bahasa Arab dan Sejarah Islam di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, juga tidak sependapat atas kesimpulan yang mengatakan bahwa para wali adalah keturunan Cina. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah:
1.    Sumber-sumber dari kesimpulan itu dari Babad Tanah Jawi, Serta Kanda, Kronik Cinta Semarang dan Talang yang belum banyak dipakai sarjana.
2.    Prof. Slamet Mulyana mendapat sumber dari tangan ketiga (dua orang) yaitu lewat Residen Poortman dan Ir. Parlindungan.
3.    Sumber-sumber babad itu penuh dengan dongeng dan legenda.
4.    Sumber-sumber Portugis yang ada digunakan
5.    Lebih memberatkan dan menerima 100% sumber Cina, atau membesar-besarkan pengaruh Cina.
6.    Mungkin ada nama-nama pribumi asli yang dibaca atau ditulis menurut Lidah Cina. Pengaruh setiap bahasa dan lidah sesuatu bangsa lain memungkinkan terjadi penyesuaian ejaan, seperti khabar menjadi kabar (bahasa Arab), lebih-lebih pendatang baru bangsa Cina yang disebut tokelja, sabar menjadi sabal, dan sebagainya. Akhirnya terjadilah seperti yang dikira, terdapat nama-nama yang berubah dari nama asalnya, seperti di dalam naskah Poortman, Kertabumi menjadi King ta Bu Mi, Su Hi Ta menjadi Su King Ta, Trenggana menjadi Tung Ka Lo, Mukmin (putra Trenggana) menjadi Muk Ming, Sunan Bonang menjadi Be Nang, Ki Ageng Gribig menjadi Na Pao Cing, Aceh menjadi Ta Cih, Bintoro menjadi Bing To Lo, Bangil menjadi Jiaotung, Majakerta menjadi Jangki, Palembang menjadi Ku Kang, Sultan tayyib menjadi Too Yat, dan sebagainya. Ternyata banyak nama-nama Indonesia yang diberi nama dengan bahasa Tionghoa.
7.    Salah satu kelemahan, antara lain ialah Sunan Gunung Jati diidentifikasikan dengan Toh A Bo, dalam bukunya Prof. Slamet Mulyana hal. 219. tetapi pada halaman 220 dikatakan bahwa Tung Ka Lo (trengganda mempunyai dua orang putra, yaitu muk Ming (Pangeran Mukin atau Pangeran Prawoto) dan putra kedua pangeran A Bo dinyatakan dalam Babat Tanah Jawi bahwa dia menjadi Bupati Madiun. Jika Panglima Perang Demak pada tahun 1526, yang berhasil membawa kemenganna sama dengan Panglima Perang yang dikirim ke Majapahit apda tahun 1527, maka Panglima Perang yang memimpin armada Demak ke Cirebon dan ke Sunda Kelapa adalah Toh A Bo Putra Tung Ka Lo sendiri. Dengan demikian, maka Toh A Bo identik dengan Fatahillah. Demikianlah tulis Prof. Dr. Slamet Mulyana. Tetapi pada halaman 224 Prof. Slamet Mulyana menulis lagi bahwa Fatahillah sebagai Sultan Banten / Cirebon dan Ipar sulatan Trenggana, dan pula menjadi Sultan Cirebon / Banten. Inilah kejanggalannya, bahwa Fatahillah disamakan dengan Toh A Bo, yang menjadi putra Sultan Trenggana dan sekali itu juga menjadi ipar Sultan Trenggana. Juga menjadi Bupati Madiun dan juga menjadi Sultan Cirebon / Banten. Apakah bisa? Aneh bukan, satu oknum menjadi putra dan sekaligus menjadi ipar Sultan Trenggana, jug amenjadi Bupati Madiun dan juga menjadi Sultan Cirebon / Banten.
Dengan adanya beberapa pendapat tentang silsilah itu, maka bagaimanapun juga tampak bahwa masih terdapat ketidakjelasan tentang silsilah Sunan Kalijaga. Tampak pula bahwa terdapat maksud-maksud tertentu dari penyusunan silsilah. Hal itu sebagaimana pengungkapan tentang silsilah raja-raja jawa dalam Babad Tanah jawi  yang menyatakan bahwa silsilah tokoh Senopati, raja Islam Mataram II, putra Ki Gede Pemanahan. Bahwa Ki Gede Pemanahan adalah keturunan langsung ratu-ratu Majapahit, kerjaan hindu yang dipuji orang jawa. Ia adalah Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela putra Ki Ageng Getas Pendawa, Selanjutnay ia putra Bondan Kejawen (Lembut Peteng), dan Bondan Kejawen ini mempunyai dua saudara lagi yakni Arya Damar (Bupati Palembang yang masuk Islam) dan terakhir adalah raden Patah, Mereka bertiga adalah putra Hayam Wuruk, Putra Raden Sesusuh, putra Kuda Lalean, putra Raden Panji (Hikayat Panji Semarang dan Galuh Candrakirana). Raden Panji Putra Getayu, putra Prabu Jayabaya, keturunan Parikesit putra Abimanyu, putra Aejuna, putra Barahmana, putra Bhatara Guru, ptra Sang Hyang Tunggal, putra Sang Hyang Wening, yang berasal dari Sang Hyang Nur Cahya. Dengan demikian maka Senopati dihubungkan dengan dewa-dew dan cerita wayang. Tampak bahwa dari penyusun silsilah Sunan Kalijaga yang berbeda-beda terdapat kemungkinan adanya maksud-maksud tertentu.

Tentang asal-usul nama Kalijaga, terdapat pula perbedaan penafsiran, satu pendapat menyatakan bahwa Kalijaga berasal dari kataJaga Kali (bahasa jawa). Pendapat lain mengatakan bahwa kalijaga berasal dari kata Arab, Wodli Dzakka (penghulu suci), dan pendapat yang lain lagi menyatakan Kalijaga berasal dari nama dusun Kalijaga yang terletak di daerah Cirebon.
Penafsiran yang pertama mengacu kepada nama jawa asli bahwa Kalijaga artinya menjaga kali, dari asal kata kali yang berarti sungai dan kata Jaga yang b berarti menjaga. Boleh jadi tafsiran ini didasarkan atas suatu riwayatnya sebagaimana dinyatakan dalam Babad Tanah Jawi bahwa beliau pernah berkhalwat setiap malam di sebuah sungai yang berada di tengah hutan yang sepi, seakan beliau menjaga kali itu. Secara kebetulan hutan itu bernama Kalijaga di daerah Cirebon.

Terdapat suatu penafsiran pula bahwa menjaga kali diartikan sebagai kemampuan Sunan Kalijaga dalam menjaga aliran atau kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat. Beliau tidak menunjuk sikap anti pati terhadap semua aliran atau kepercayaan yang tidak sesuai dengan islam, tetapi dengan penuh kebijaksanaan aliran-aliran kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat itu dihadapi atau digauli dengan sikap penuh toleransi. Konon, menurut cerita, memang Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang faham dan mendalami segala pergerakan dan aliran atau agama yang hidup di kalangan rakyat.
Dalam suatu sumber di dapatkan tentang asal-usul perkataan kalijaga yang berasal dari perkataan jagakali termasuk juga bagaimana Raden Said mendapatkan julukan syekh Malaya.  Keterangan ini dijumpai dalam Babad Diponegoro, sebuah naskah sejarah yang ditulis oleh Pangeran Diponegoro di tempat pengasingannya di Menado. Menurut penuturan Pangeran Dipanegara, waktu Sunan Bonang teringat ihwal Raden Sahid yang telah dipendamnya, Sunan Bonang ingin mengeluarkannya. Sunan Bonang segera pergi ke tempat Raden Sahid dipendam, sembari membawa sahabatnya. Raden Sahid dikeluarkan dari pendamnanya, raden Sahid telah menjadi mayat. Sekalipun demikian sudah menjadi kehendak Tuhan tubuh jasmaninya masih dalam keadaan utuh, tidak membusuk. Hanya tinggal tulang dan kulit. Mayat Raden Sahid dibawa ke Ngampel Gading.
Mayat Raden Sahid dikembalikan kekuatannya. Sunan giri telah dapat dan ikut mengerjakannya. Semua wali ikut mengembalikan kekuatan Raden Sahid. Tuhan pun memberikan pertolongan-Nya. Penglihatan Raden Sahid muncul lagi, kemudian nafasnya, setelah itu detak jantungnya. Ayah dan ibu raden Sahid telah datang, demikian juga adik Raden Sahid, Dewi Rasawulan, telah sengaja datang dari hutan langsung menuju Ngampel Gading. Bersama waktu datangnya ayah dan ibunya, nafas yang keluar dari tubuh raden sahid semakin besar, para wali berdoa, lalu datanglah kembali semua kekuatan Raden Sahid. Raden Sahid telah siuman, bagai telah lama tidur. Raden Sahid duduk dikitari para wali, Raden Sahid sadar, kemudian bersembah sujud kepada semua wali dan ayahnya, sedangkan Dewi Raswulan bersembah sujud kepadanya. Bagaikan mimpi saja, semuanya telah menakjubkan semua orang yang pada susah hati melihatnya, sangat ajaib, sangat mengesankan.
Semua kekuatan Raden Sahid telah kembai seperti sediakala, hanya tinggal rasa lesu saja. Kata Sunan Makdum: “Anak-anakku semua, patuhilah kata-kataku ini. Aku akan menjuluki si Sahid “Syekh Malaya”. Disamping itu, Sunan Makdum Berkata lagi “Mumpung lengkap semua, Wilatikta anakku, aku akan mengambil kedua anakmu. Syekh Malaya akan kukawinkan dengan putriku yang bungsu, sedang Nini Rasawulan akan kukawinkan dengan ananda di Giri.” Keduannya kemudian dikawinkan, disaksikan semua wali.
Para wali kembali ke tempat tinggalnya masing-masing, sementara Syekh Malaya belum merasa puas hatinya. Beliau minta diri kepada adiknya, ingin pergi berkelana. Lalu pergi meninggalkan Ngampel Gading, menyusuri daerah Pengisikan, berhenti bertapa mati raga di pinggir kali dengan bersandar pda pohon jati yang telah mati, yang batangya condong ke kali itu. Demikian lama Syekh Malaya bertapa mati raga, hingga pohon jati yang semula mati telah hidup kembali berimbun daun.
Alkisah, waktu itu Kanjeng Sunan Bonang berkelana, beliau telah sampai di pohon jatiitu. Beliau melihat ada orang bertapa mati raga dengan bersandar pada pohon jati tersebut. Lama-kelamaan Kanjeng Sunan Bonang tidak lupa lagi, orang itu tidak lain adalah adiknya sendiri. Kanjeng Sunan Bonang segera duduk mendekatinya. Syekh Malaya waktu itu sedang tidur, dibangunkan olehnya. “Bangunlah adikku,” katanya. Syekh Malaya terkejut melihat kedatangan kakaknya, lalu mencium kaki bersembah bakti. “Sudahlah, duduklah adinda. Sekarang namamu kuberi tambahan, yakni Jagakali, Sunan Kalijaga. Demikianlah namamu yang patut. Disamping itu, bertempat tinggallah dan dirikanlah pedesaan ditempat ini. Aku yang akan membantumu, sedang istrimu akan kuundang”. Sunan Kalijaga. Tidak menolak perintah kakaknya.
Kanjeng Sunan Bonang mengirim utusan ke Ngampel memanggil adiknya sembari mohon izin kepada ayahnya. Tidak diceritakan, istri Sunan Kalijaga telah datang, sedang desa tempat Sunan Kalijaga juga telah siap, dibuatkan oleh Sunan Gunung Jati. Sunan Bonang lalu kembali ke tempat tinggalnya.
Telah lama bertempat tinggal di desa itu Sunan Kalijaga mempunyai seorang putra yang roman mukanya tidak berbeda dengan ayahnya, bernama kanjeng Sinuhun Adi.
Penafsiran kedua mengacu kepada nama Arab bawa kalijaga berasal dari bahasa Arab yang telah berubah menurut pengucapan lidah orang jawa, yaitu Qadli Zakkah yang berarti hakim suci atau penghulu sici. Nama itu merupakan nama sanjungan yang diberikan pagnera Modang, Adipati Cirebon, tatkala mereka berdiskusi tentang masalah hukum Islam di Cirebon. Dari kata sanjungan Qadli Zakka itulah kemudian desa tempat tinggal Penghulu Suci itu dikenal dengansebutan Kalijaga, Nama yang masih melekat pada suatu desa di daerah kabupaten Cirebon hingga sekarang.

Lain lagi dengan pendapat ketiga yang menyatakan bahwa nama kalijaga berasal dari nama desa tempat tinggal yang pernah didiami oelh Raden Sahid. Pendapat ketiga cenderung menyanggah kedua pendapat terdahulu itu. Prof. Dr. Hoesein Djajaningrat menyatakan, kisah legendaries menetapnya Sunan Kalijaga di sebuah ssungai merupakan sebuah ikhtisar yang kaku untuk menerangkan si muasal nama Sunan Kalijaga. Prof. Hoesein Djajaningrat mengingatkan, dalam masalah ini orang telah memberikan artian nama kalijaga dengan “Penjaga Kali” atau “penjaga di kali”, akan tetapi orang lupa, bahwa dengan demikian orang mendapatkan susunan (perkataan) yang tidak bercorak jawa. Oleh karena menurut logat bahasa jawa “penjaga kali” toh disebut “(wong) jaga Kali”. Menurut pendapatnya, asal-muasal nama kalijaga justru tidak bisa di pulangkan pada Sunan Kalijaga, artinya tidak bisa dinyatakan bahwa nama itu telah muncul oleh karena pada awal mulanya Sunan Kalijaga telah berjaga, bertapa atau menetap di dekat kali. Tetapi sebaliknya, nama Sunan Kalijaga justru lahir karena yang bersangkutan telah menetap di desa kalijaga. Dengan demikian sebelum Sunan Kalijaga datang desa itu telah bernama kalijaga.
Pendapat yang sama dipegangi juga oleh G.P.H. Hadiwidjaja, yang ditulis dalam brosurnya berjudul Kalijaga, sebuah tulisan yang disampaikan dalam tulisan ceramahnya di Radya Pustaka, Solo, tanggal 7 Mei 1956. dalil yang dipakai bukan nama desa yang mengikuti nama wali itu, tetapi telah dikenal sebelumnya. Dan nama desa yang dimaksud adalah desa kalijaga yang telah dikenal sebelumnya. Dan nama desa yang dimaksud Cirebon. Dalam tulisannya itu ia sekaligus menunjukkan kesalahan kedua pendapat di atas. Dasar pendapatnya adalah sebuah kidungan yang pernah didengarnya pada zaman sebelum perang di daerah Pasundan, yang berbunyi:
Sing sapa reke bisa nglakoni,
Amutih lawan anawaha,
Patang puluh dina wawe
Lan tangi wegtu subuh,
Lan den sabar sakuring ati
Ing sa-Allah tinekan,
Sakarsanireku,
Tumrap sanak rajatinira
Saking sawabe ngelmu pangiket kami,
Duk aneng kalijaga.
Artinya:
Barangsiapa bisa menjalani
Melakukan mutih dan minum air tawar
Empat puluh hari saja,
Dan bangun waktu subuh,
Dan sabar berhati sukur,
Kepada Tuhan terlaksanalah
Sekehendakmu,
Pada saudara keluargamu,
Dari sawab ngelmu yang kami ikat, waktu berada di Kalijaga.
Dari kidung itu K.G.P.H. hadiwidjaja berpendapat bahwa yang membuat kidungan itu adalah Sunan Kalijaga sendiri, sebagaimana disebutkan “duk aneng Klaijaga” – “Waktu berada di kalijaga”. Dia menunjukkan serangkaian bukti bahwa kalijaga sebenarnya bukan nama orang, melainkan nama desa di kawasan Cirebon sebagai berikut:
1.    Pokok isi naskah sejarah Banten yang termuat dalam disertasinya Prof D.R.R.A Hoesein Djajaningrat yang berjudul Critiche Beschouwingen Van De Sadjarah Banten yang menyatakan, raden Said lalu pergi berkelana sampai ke Palembang, bertemu dengan Dara Petak. Kemudian mereka bersama pergi ke Pulau Upih, berguru kepada Syekh Sutabris. Setelah selesai disuruh pulang kembali ke tanah Jawa bertempat tinggal membuat pedukuhan di Cirebon di dekat Sungai kecil, sembari berjualan atap ilallang agar mereka diketahui oleh yang empun negeri. Di berlakng hari pedukuhan tersebut disebut kalijaga.
2.    Kitab Wali Sepuluh Karangan Kargosudjono, diterbitkan Tan Koen Swie tahun 1950, menyatakan: “Tuan Sunan Kalijaga dulu keratonnya adalah di tanah Puserbumi (Cirebon).” Nama Keratonnya tidak disebutkan, tetapi letaknya ada di Cirebon, sama dengan disebut pada nomor satu di atas. Hanya saja, mengenai disebutnya Puserbumi, K.G.P.H. Hadiwijaya baru mengetahuinya. Menurutnya, yang disebut Puserbumi itu adalah Mekkah, yang karena Multasyam-nya, matahari tidak pernah mengunggulinya. Ada pun pusarnya tanah jawa adalah gunung tidar di Magelang.
3.    Kidungan Musium dalam bentuk cetakan dan kidungan milik K.G.P.H. Hadiwijaya sendiri dalam bentuk naskah, menyebutkan:
“….Saking sawabe ngelmu pengiket kami, du aneng kalijaga”.
Artinya:
“….Dari sawah ngelmu ikatan kami, waktu di kalijaga.”
4.    Serat Syeh Malaja, koleksi musium Sana Pusaka, milik K.G.P.H. Hadiwijaya sendiri dalam bentuk naskah:
1)    Pupuh Asmarandana pada 4:
Anulnya kinen angasih,
Pitekur ing kalijaga,
Mila karan kakasihe…….
Artinya:
Lalu disuruh pindah bertafakur di Kalijaga oleh karena itu namanya disebut ……….
Di sini jelas nyata bahawa kalijaga bukan nama orang tetapi nama desa. Sedang yang menyuruh pindah adalah Sunan Bonang, setelah Kalijaga diberi wejangan.
2)    Bersamaan Pupuhnya pada 12:
“Wus telas denya wawarti,
ajeng Sunan Bonang samna,
jangkar sing kalijagane”
artinya:
“Telah selesai memberikan keterangan,
Kanjeng Sunan Bonang waktu itu,
Berangkat dari Kalijagane….”
5.    Serat Walisanga, Milik K.G.P.H. Hidiwijaya pupuh pucung pada 29:
“inggalipun,
wus raharjo ponang dukuh,
katah kang awismo.
Pradesane wus sawasri,
Sinung aran padukuhan kalijaga.”
Kemudian menceritakan kembalinya dari samudra diwejang kanjeng nabi Kidir, Tembang Gambuh pada 33:
Umpami sekar kuncup,
Mangke samun mangsane cumucup,
Ngambar-ambar gandane kastri jati,
Ing wasana lajang kondur,
Tan wangsul maring Cirebon.”
Artinya:
“bagaikan bunga yang kuncup,
sekarang telah waktunya mekar,
semerbak harumnya kasturi tulen,
akhirnya lalu pulang,
tidak kembali ke Cirebon.”
Pada 34:
“Mring padukuhanipun,
Kalijaga pun Lumajang misuwur…”
Artinya:
“Ke Pedukuhannya,
Kalijaga yang lalu termasyur…”
Pada 35:
“She Malaya kasetbut,
papan saking padamelanipun,
nengsih Sunan Kalijaga Wewangi…”
Artinya:
“Syekh Malaya tersebut,
dari sebab pekerjaannya,
nengsih Sunan Kalijaga mewangi…
Menurut K.G.P.H. Hadiwijaya, dengan bukti-bukti tersebut jelas bahwa Kanjeng Sunan Kalijaga tersebut berasal dari nama desa, yakni desa Kalijaga di kawasan Cirebon.
Tentang penolakan K.G.P.H. Hadiwijaya terhadap perkataan “Qadli Zakka” yang berarti penghulu suci, bahwa tidak mungkin ada desa yang bernama penghulu agung suci, seperti halnya pengulon yang berarti tempat kediaman penghulu; Modinan yang berarti tempat kediaman Modin; Kauman yang berarti tempat kediaman kaum dan lain sebagainya. Demikian jug a perkataan “kali” tidaklah bisa dikatakan begitu saja berasal dari Arab, sebab nama desa yang memakai perkataan “Kali”, misalnya Kalijanes, Kaliwingka, Kaliyasa, Kalisara, Kaliwungu dan lain sebagainya.
K.G.P.H. Hadiwijaya juga merujuk nama-nama Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Ngudung, Syekh Lemah Abang, Semua itu adalah nama-nama yang diberikan berdasarkan tempat tinggal dan tidak diberikan dari asl perkataan Arabnya, sehingga, oleh karenanya, kata “Kalijaga” menurutnya merupakan “tembung jaawa klutuk”, perkataan Jawa Asli. Penyebutakn kalijaga sebagai berasal dari perkataan Arab “Qadl Zakkah” merupakan perbuatan orang jawa sendiri secara paksa. Hal yang sama dikemukakan juga oleh K.G.P.H. Hadiwijaya berkenaan dengan nama-nama wayang, Petruk Berasal dari Fatruq, Janaka berasal dari Zinaka, Narada berasal dari nurhuda dan sebagainya.
Berbeda dengan pendapat Ki M.A Machfoed, dia juga tampak kurang sependapat tentang asal-usul nama Kalijaga yang dihubungkan dengan perilaku bertapa di kali laksana orang “Jaga Kali” yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga sebagaiaman dituturkan dalam Sejarah Kadilangu. Dia lebih cenderung memegangi apa yang dituturkan dalam babad demak versi Cirebon, bahwa nama kalijaga berasal dari bahasa Arab “Qadli Zakkah” yang berarti penghulu suci, sebgaiman telah dikemukakan terdahulu. Dengan demikian , Ki M.A. Machfoed berpendapat bahwa kalijaga dapat lebih dipegangi sebagai nama orang, bukan nama desa yang semula bernama kalijaga sehingga nama itu menjadi sebutan bagi wali tersebut. Dia beranalog sama halnya dengan nama K.G.P.H. Hadiwijaya bukanlah nama yang diberikan karena bel;iau itu bertempat tinggal di kampung Hadiwijaya, karena menurut pengakuran beliau, nama Hadiwiaya adalah nama pemberian ayahandanya yakni Sri Susuhunan Paku Buana X.

Tentang nama Raden Said atau Jaka Said sebagai nama Sunan Klaijaga pada waktu mdua adlah nama pemberian Sunana Ampel Denta. Kata Said (Sa’id) yang berasal dari bahasa arab berarti bahagia. Sunan Ampel sendiri mempunyai hubungan dekat dengan ayahanda raden Said, dan setiap saat bersilaturrahmi di istana adipati Tuban itu, berdiskusi  tentang masalah-masalah keagamaan.
Sejalan dengan arti sa’id, bahagia, maka Sunan Kalijaga dikenal juga dengan nama Lokajaya. Hanya saja sebutan Lokajaya lebih mengacu kepadea bahasa jawa, yang terdiri dari dua kata loka artinya tempat dan jaya berarti bahagia, menang. Menurut Pustaka Daerah Agung, nama baru itu adalah pemberian Syekh Sutam, tetapi tanpa penjelasan siapa Syekh Sutam itu. Dalam Babad Demak, nama Syekh Sutam juga tidak dikenal, kendatipun nama lokajaya disebut-sebut tatkala mengenalkan Raden Said sebagai pelayan, kemudian sebagai pengadu ayam, dan kemudian sebagai penyamun. Perannya sebagai pelayan dimulai setelah pergi meninggalkan kadipaten ketika semua uang emas berkalnya lenyap, entah dicuri orang dalam rumah penginapan, entah jatuh diperjalanan. Dalam Babad Demak versi Matara disebutkan bahwa bekal emas Raden Said habis karena diperjudikan. Tetapi lain halnya apa yang disebut oleh Babad Demak versi Cirebon, emas bekal calon wali itu habis karena telah dihadiahkan kepada anak gembala kerbau sebagai tanda terima kasih atas doa anak gembala itu dalam bentuk nama lokajaya.

Dalam perantauannya Lokajaya sampai lah pada suatu hari disebuah desa yang diantara penghuninya ada seorang janda tua beranak banyak, dan mata pencahariannya sebagai pedagang serabi, semacam kue apem. Meskipun hasil perdagangan itu sudah tidak mencukupi keperluan hidup hariannya bersama lima orang anak-anaknya yang belum ada satupun yang dewasa, namun janda tua yang berwatak murah hati itu ternyata suka menerima Lokajaya sebgai seorang penumpang hidup padanya. Mengerti betapa pemarah dan baik hati orang yang ditumpangi hidupnya itu, maka Lokajaya dengan setia dan jujur melayani pedagang serabi, memasak, memikul barang-barang keperluan memasak dan menjual serabi ke pasar, memikul barang-barang itu dari pasar pulang kembali ke rumah. Dan disadari oelh wanita janda tua itu, betapa pesat kemajuan dagangannya yang tampak sudahmenjadi besar dan tidak lagi miskin, sejak lokajaya menumpang hidup sebagai pelayan padanya. Maka lokajaya amatlah disayangi dan diperlakukan sebgai anak kandungnya. Uang pun diberikan secukupnya pada sembarang waktu diperlukan, termasuk juga untuk membeli seekor ayam aduan dan untuk bertaruh di kala ayam itu dibawa lokajaya ke dalam gelanggang peraudan ayam.

Ayam aduan Lokajaya itu diberi nama Ganden dan kenyataannya tak terkalahkan. Setiap kali Ganden keluar dari gelanggang, tetaplah senantiasa sebgai pemenang. Semua taruhan kemengangannya yang tak sedikit jumlahnya selalu Lokajaya berikan kepada janda tua, itu akuannya itu.
Apda suatu hari, rumah pedagang serabi tersebut dikunjungi seorang setengah baya berserta anak muda yang membawa sebuah krusu berisi seekor ayam aduan. Mereka datang perlu menantang Lokajaya mengadu ayamnya yang bernama Tatah dengan Ganden, ayam aduan milik Lokajaya itu. Tantangan itu tentunya diterima Lokajaya dengan gembira hati, karena memang sudah agak lama menunggu adanya ayam aduan yang berani melawan ganden.

Lokajaya merujuk ketika mendengar tantangannya mengenai soal  taruhannya yaitu rumah tempat tinggal pedagang serabi itu seisinya yang dikira oleh tamu penantang itu menaruh sebuah kantong besar berisi emas, sebagai taruhannya. Melihat keraguan Lokajaya dan melihat sekantong emas yang nilainya jelas lebih besar dari pada harga rumah seisinya itu, dengan mengingat bahwa ssealma ini Ganden terbukti tak pernah terkalahkan, maka janda tua akuannya itu menganjurkan agar Lokajaya dengan berbesar hati menerima tantangannya. Dan Ganden sergeralah berhadap-hadapan dengan Tatah dalam sebuah Gelanggang di halaman depan rumah yang dikerumuni banyak penggemar adu jago. Pertarungan antar aGanden dan Tatah berlangsung hebat sekali, namun tidak begitu alma pertarungan itus udah selesai. Ganden Kalah, mati terkapar di tengah gelanggang.

Janda serabi dan kelima anak-anaknya menangis kekalahan Ganden yang menimbuni segenap keluarga dengan malapetaka. Lokajaya tinggal berdiri tegak saja dengan hati gusar pandangannya mengikuti kepergian tamunya setelah menerima tawaran bahwa kelak tamunya akan kembali untuk menempati rumah teruhannya, dan diharap Lokajaya sekeluarga sudah tidak berada di dalam rumah dan halaman itu, tetapi Lokajaya diperbolehkan mengambil dan membawa isi dari rumah dan halaman apa saja yang disukai.
Pada senja hari, lokajaya minta diri pada ibu akuannya akan pergi mencari pengganti rumah tinggal dan semua harta kekayaan ibunya yang telah lenyap dalam pertaruhan tadi pagi, dengan pesan agar ibu dan kelima anaknya jangan meninggalkan rumah itu sebelum dia pulang kembali dan supaya menuntut kehidupan seperti biasanya. Seolah-olah di situ tidak ada perubahan apapun. 

Kemudian Lokajaya pergi ke satu-satunya jalan lalu lintas di tengah hutan menghadang di sana sebagai penyamun. Tujuan hari siang dan malam dia menyamun di sana. Pada pagi hari yang kedelapan, dia telah bertukar niat hendak pergi merampok saja dipedesaan, tetapi mendadak terlihatlah olehnya orang setengah baya dan seorang muda yang mengantarkannya akan lewat di dijalan penyamunannya. Walau calaon  korbannya itu berpakaian seorang ualma, namun tiada panglinglah Lokajaya bahwa calon korbannya itu adalah si pemilik tatah tempo hari. Pakaian keulamaannya tampak serba indah, serba mahal harganya. Lokajaya segera menghentikan mereka, diminta pakaian mereka dan semua yang mereka bawa atau nyawa mereka yang akan direnggutnya kalau mereka berani menolak permintaannya. Tetapi alangkah terperanjatnya Lokajaya ketika orang setengah baya itu menyebut namanya di minta agar ia melihat pohon aren yang ada disebelah kanannya, bahwa semua tirisan buah kolang-kaling sesungguhnya ems murni dan bisa diambil kalau memang bermaksud menghimpun kekayaan duniawi. Tampak pada pandangan mata Lokajaya semua tirisan buah kolang-kaling itu adalah emas yang kilau-kemilau yang indah dalam sinar matahari. Seketika lokajaya berjongkok di hadapan orang setengah baya itu sambil menyembah, minta ma’af, menyerahkan diri kepadanya serta minta diterima sebagai muridnya. Dengan senang hati permintaan itu diterima orang setengah baya itu, yang kemudian memberi perintah kepada Lokajaya agar segera pulang lebih dahulu kepada ibu akuannya untuk minta diri dan berkata kepadanya atas nama calon gurunya itu menghadiahkan rumah tinggal seisinya dan halaman itu dan selanjutnya disuruh menyusul ke pondok bonang.

Sesungguhnya, orang setengah baya itu tak lain adalah Sunan Bonang, dan anak muda pengiringnya itu adalah adik kandung bungsunya, yang kemudian hari tampil sebagai Sunan Drajat. Keduannya adalah putra sulung dan putra bungsu Sunan Ampel Denta yang diutus ayahandanya supaya mencari dan menemukan Raden Said.

Sunan Kalijaga dikenal juga sebagai syekh Malaya, nama pemberian dari sunan bonang, setelah dia selesai menjalankan khulwat yang merupakan ujian pertama kesanggupan berguru kepada Sunan Bonang itu. Demikian itu sebagaimana dituturkan dalam Babad Diponegara, babad demak versi Cirebon maupun Babad demak versi lain-lainnya. Hanya saja, terdapat perbedaan antara pengertian maupun praktik tapa ngluwat atau tapa mendem yang digambarkan dalam Babad Diponegoro sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, demikian juga berbeda dengan pengertian dan praktik tapa mendem sebagaimana yang digambarkan dalam Babad Demak yang lain, atau juga Babad Majapahit dan Para Wali. Inti ajaran tentang khulwat  dalam Babad Demak versi Cirebon yakni menyekap diri lahir-batin dalam kesepian dari segala apa pun, kecuali harsu senantiasa hudlur ma’ Allah, demikian itu selama 40 hari, siang dan malam. Sedangkan tapa ngluwat sebagai mana digambarkan dalam Babad Diponegoro, Babat Majapahit dan Para Wali  dan Babad Demak  yang lain, adalah menguburkan diri dalam tanah. Disebutkan bahwa Raden Said dipendam dalam tanah selama 100 hari.

Agak berbeda dengan cerita tersebut, dalam Babad Tanah Jawi terbitan Balai Pustaka, di sana dinyatakan, sebagai ujian kepatuhan raden Said untuk berguru pada Sunan Bonang maka raden Said diminta untuk menunggui tongkatnya. Sedemikian patuhnya raden Said dalam  memenuhi permintaan Sunan Bonang sehingga satu tahun kemudian Sunan Bonang menjenguknya kembali. Keadaan tempat telah menjadi hutan, dan hanya dengan mengucapkan salam Sunan Bonang dapat melenyapkan hutan itu sehingga tampaklah raden Said. Akan tetapi Raden Said hanya diraba denyut jantungnya , kemudian ditinggalkan lagi selama satu tahun lagi sehingga genaplah dua tahun Raden Said bertapa menunggui tongkat Sunan Bonang . setelah diajari ajaran-ajaran tentang ilmu, diminta pergi dan agar senantiasa taat pada Tuhan. Selama satu tahun kemudian Raden Said berkhulewat dan setelah itu dia pergi ke arah barat menuju Cirebon dan bertempat tinggal di sebuah hutan sepi yang disebut kalijaga. Di situlah dia bertapa dengan dua orang temannya dengan cara menjaga sungai di malam hari yakni berendam di dalam sungai. Setelah berhenti bertapa dan telah menjadi orang sakti Raden Said berganti nama menjadi Sunan Kalijaga.



Riwayat Hidup

1.    Guru-guru Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga pertama berguru kepada Sunan Bonang, yang dikenal juga dengan nama Makdum Ibrahim. Menurut sumber-sumber sejarah, sebenarnya antara Sunan Bonang dengan Sunan Kalijaga mempunyai hubungan kekerabatan, karena Sunan Ampel Denta, ayah Sunan Bonang, memperistri Nyi Gede Manila, yakni Ibun Sunan Bonang yang tidak lain adalah anak perempuan Wilatikta. Tetapi dalam Babad Tanah Jawi versi yang mana pun, seakan mereka sebelumnya tidak pernah mengenal, setidak-tidaknya Raden Said tidak mengenal Sunan Bonang, sementara menurut salah satu sumber, Sunan Bonang sendiri memang secara sengaja disuruh ayahandanya agar mencari dean menemukan serta mempertobatkan Raden Said dan mengesankan bahwa Sunan Bonang sudah mengenal sebelumnya.

Pertemuan yang pertama adalah ketika mereka mengadu ayam, sebagaimana telah dikemukakan pada uraian terdahulu. Dalam banyak cerita tentang pertemuan-pertemuan pertama antara kedua orang itu menyatakan bahwa di bawah asuhan Sunan Bonang, Sunan Kalijaga pada awal mulanya merupakan seorang anak muda yang nakal, akhirnya dapat ditobatkan hingga jadi waliullah.
Kemudian Sunan Kalijaga juga berguru kepada Syekh Sutabris di Pulau Upih. Yang dimaksud pulau Upih ialah bagian kota malaka yang terletak di sebelah utara sungai, yang pada akhir abad XV merupakan daerah perdagangan yang paling ramai di kota itu, di mana banyak pedagang dari pulau jawa yakni dari daerah Tuban dan Jepara bertempat tinggal. Demikianlah, sebagaimana dinyatakan dalam naskah sejarah Banten dan menurut naskah ini, Sunan Kalijaga berguru pada Syekh Sutabris. Sunan Kalijaga menetap di tepi sungai kecil di Cirebon dan oleh karenanya kemudian disebut orang pangeran Kalijaga. 

Menurut sumber lain, kepergian Sunan Kalijaga sampai ke pulau Upih sebenarnya dalam perjalanan menyusul Sunan Bonang naik haji ke makkah. Tetapi sampai di pulau Upih itu oleh Syekh Maulana Maghribi disarankan untuk kembali ke jawa membangun masjid, menjadi penggenap wali sembilan. Disarankan oleh Syekh Maulana agar menunggu gurunya itu di   atas kayu ditepi kali. Kembalilah Sunan Kalijaga ke jawa dan menetap di suatu desa di Cirebon, dan disinilah kemudian ia bertemu kembai dengan Sunan Bonang, setelah menunggu selama 100 hari. Desa yang dimaksud itu adalah desa kalijaga.

Menurut Serat Kandaning ringgit Purwa, Sunan Kalijaga pergi naik haji bukan menyusul Sunan Bonang, tetapi justru kepergiannya atas saran Sunan Bonang setelah mendapatkan berbagai ajaran pengetahuan agama dan belum dianggap sempurna kebajikan lahiriyahnya kalau belum pergi haji ke makkah.
Di Cirebon, setelah membuat pemukiman baru lengkap dengan perumahan nya, oleh Sunan Bonang diajak pergi ke Giripura menghadap Sunan Gunung Giri yang dianggap sebagai ketua para wali di jawa agar menerima Sunan Kalijaga sebagai wali yang kedelapan.

Adapun gurunya yang ketiga adalah Sunan Gunung Jati di Cirebon. Dalam beberapa sumber seperti Babad Dipanegara, Babad Tdanah Jawi maupun Babad Demak selain versi Cirebon, kehadiran Sunan Kalijaga di Cirebon adalah dalam usahanya untuk menambah pengetahuan dengan berkelana, bertapa dari tempat ke tempat lain, sehingga sampailah di desa kalijaga. Menurut salah satu naskah Sunan Kalijaga sebagai Syekh Malaya ditemukan oleh Pangeran Modang yakni Sunan Gunung Jati, dalam keadaan seolah-olah tidak menyadaridirinay bertapa di perempatan jalan di dekat pasar, terlentang tanpa pakaian seama sekali. 

Tatkala keempat istri pangeran modang tidak mampu menggagalkan / membangunkan Sunan Kalijaga maka Pangeran Modang sendirilah yang berkunjung ke temapt, dan dia baru bisa membangunkan seteah menunggu selama tujuh hari. Akan tetapi, menurut Babad Demak versi Cirebon, kehadiran Sunan Kalijaga ke Cirebon adalah dalam rangkaian dakwahnya sejak dari Rembang-Purwodadi-Salatiga-Kartasura-Kutaarja-Kebumen-Banyumas dan akhirnya sampai ke Cirebon. Disini Sunan Kalijaga sebagai Syekh Malaya diterima sebagai tamu terhormat yang ahli dalam bidang ilmu agama, sebagai penghulu suci. Sedangkan menurut naskah sejarah Hikayat Hasanuddin, kedatangan Sunan Kalijaga Dicirebon tidak lepas dari usahanya menyebarkan agama Islam, sekaligus menuntut ilmu pada Sunan Gunung Jati. Dalam fragment itu dituturkan, Sunan Bonang dan Adipati Demak telah pergi berziarah mengunjungi Sunan Gunung jati. Sunan Bonang, Pangeran Adipati Demak dan kaum keluarganya berguru kepada Sunan Gunung Jati. Demikian halnya Pangeran Kalijaga dan pangeran Kadarajad, putra Sunan Ampel yang dibelakang hari terkenal dengan nama Sunan Drajad. Penyebutdan Sunan Kalijaga dengan nama Pangeran Kalijaga dengan jelas menunjukkan, pada waktu itu Sunan Kalijaga masih belum menjadi wali. Tidak ubahnya dengan Sunan Derajad, yang pada waktu itu masih disebut dengan nama Pangeran Kadarajad.

Pada akhirnya dinyatakan dalam berbagai naskah, Sunan Kalijaga di ambil menantu Sunan Gunung Jati yakni memperoleh adik kandungnya, tetapi apda sumber lain menyebutkan Sunan Kalijaga menikah dengan Ratu Syarifah Jamilah, kakak kandung Sunan Gunung Jati. Selanjutnya Sunan Kalijaga membuka pondok pesantren di daerah kaki bukit gunung jati, yaitu daerah hutan yang baru dibuka menjadi desa, namun belum lagi bernama.

Pertanyaan, bagaimanakah para guru-guru Sunan Kalijaga memberikan pengajaran, serta apa pula yang diajarkan mereka. Dalam beberapa sumber nampaknya memang tidak disebutkan. Kalaulah ada, ternyata pula bahwa masing-masing versi sumber menuturkannya dalam alur cerita maupun sudut pandang yang berbeda. Terdapat kecenderungan orang memahami cerita dari sumber babad secara harfiah, tetapi kecenderungan lain beranggapan bahwa banyak hal yang harus dipahami secara tersirat, oleh karena hal itu merupakan cerita sandi ataupun pasemon. Dalam hal ini, untuk memahami cara-cara yang dipergunakan oleh para guru Sunan Kalijaga dalam memberikan ajarannya maupun inti pelajarannya, sebagian pendapat dengan cara menafsirkan cerita sandi ataupun pasemon. Dalam hal ini, untuk memahami cara-cara yang dipergunakan oleh para guru Sunan Kalijaga dalam memberikan ajrannya maupun inti pelajarannya, sebagian pendapat dengan cara menafsirkan cerita sandi itu menyatakan antara lain sebagai berikut: dalam beberapa sumber diceritakan bahwa Sunan Kalijaga pada waktu muda senang berjudi, membegal orang, menjadi perampok dan mencuri. Semua itu sebenarnya hanya perlambang, Sunan Kalijaga seorang bangsawan yang senang sekali menambah pengetahuannya. Tidak peduli dengan cara mencuri, artinya jika ada orang memberi wejangan pada muridnya,  beliau pun ikut memperhatikannya. Dan itulah yang disebut “mencuri pengetahuan”. Cerita selanjutnya menyatakan, jika perlu Sunan Kalijaga menjadi perampok, yang dimaksud tidak lain masuk ke rumah orang yang kaya pengetahuan dan dengan paksa minta wejangan. Jika sudah memperolehnya lalu dijadikan bekal berjudi, artinya digunakan untuk mengadakan musyawarah atau perdebatan, yang sudah tentu ada kalanya menang. Jika kalah malah beruntung, oleh karena bisa mendapatkan pengetahuan yang belum diketahui. Oleh karena itu Sunan Kalijaga dikatakan orang senang berjudi, oleh karena dengan jalan demikian pengetahuannya menjadi bertambah banyak.

Kebetulan waktu Sunan Kalijaga beradu jago dengan Sunan Bonang, jago Sunan Kalijaga bernama ganden, jago Sunan Bonang bernama tatah. Masudnya, waktu Sunan Kalijaga berbantahan dengan Sunan Bonang pengetahuan Sunan Kalijaga masih kurang tajam. Oleh karenanya diibaratkan Ganden melawan Tatah. Oleh karena kekalahan Sunan Kalijaga mengancam dan membegal Sunan Bonang, dengan maksud mau membegal pengetahuannya. Waktu bertemu, Sunan Bonang diceritakan memakai pakaian dan perhiasan yang sangat berharga. Maksudnya adalah, Sunan Bonang ternyata menanggapi maksud Sunan Kalijaga. 

Sunan Kalijaga diberi beberapa keterangan ihwal kenikmatan tuhan yang berupa panca indera, yang diibaratkan berupa buah kolang-kaling yang telah berujud menjadi emas, intan berlian dan batu permata berharga, semua itu dari keindahan wejangan dan dari nikmatnya Sunan Kalijaga menerimanya. Sunan Kalijaga merasa terpikat, oleh karenanya Sunan Kalijaga lalu mengikuti Sunan Bonang. Sunan Bonang sendiri waktu melihat keinginan Sunan Kalijaga, lalu menerimanya menjadi muridnya, disuruh menjadi cantrik di pondok bersama santri yang lain. Itulah yang dimaksud tapa pendam, bertapa dengan memendam diri, artinya mencegah hawa nafsu dan tidak berhubungan dengan orang-orang yang pada umumnya melakukan perilaku maksiat. Selanjutnya, Sunan Kalijaga telah ditumbuhi gelagah dan alang-alang, artinya selama di pondok,  hati Sunan Kalijaga telah ditumbuhi banyak sekali pertanyaan yang belum dimengerti olehnya. Oleh karena itu, Sunan Bonang kemudian menebangi gelagah dan alang-alang itu, maksudnya adalah memberikan banyak sekali keterangan mengenai persoalan-persoalan yang timbul dalam hati Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga merasa puas, kemudian disuruh bertapa di sungai, maksudnya tidak lain, Sunan Kalijaga disuruh mensucikan hatinya dengan air tauhid, agar supaya hatinya teguh, tidak terkena bujukan orang lain, tetap dan mantap hati dan perasaannya. Dalam suatu fragmen dituturkan bahwa atas perintah Sunan Ampel Denta, Sunan Kalijaga agar diberi wejangan tentang ilmu filsafat tinggi oleh Sunan Bonang. Ilmu itu diberikan di atas perahu di tengah rawa. Seekor cacing yang ada dalam tanah yang dipakai untuk menambal bagian perahu yang bocor ikut mendengarkan ilmu tersebut kemudian berubah menjadi manusia, dialah Syekh Siti Jenar. Yang dimaksud cacing dalam tanah tersebut adalah tukang satang yakni juru pendayung perahu. Hal itu karena sudah menjadi perlambang ibarat bahwa pada umumnya orang bodoh disebut termasuk jenis hewan. Akan tetapi jika telah pandai, berarti telah purnalah kemanusiaannya. Demikian itu pula halnya dengan juru pendayung perahu yang dimaksud itu, yang sebneranya tidak mengerti alif ba ta, akan tetapi begitu mendengar wejangna adiluhung berasal dari Al-Qur’an seketika itu juga sadar akan kemanusiaannya, malah menjadi manusia sejati.

Demikian masih banyak lagi berbagai penuturan dalam naskah babad yang manapun, yang mau tidak mau terpaksa harus menafsirkan apa saja maksud tersurat, oleh karena itu merupakan bahasa kinayah dan terkadang sulit untuk dicerna dengan akal sehat.
Adapun initi ajran yang pertama kali diwejang kepada Sunan Kalijaga sesampainya dipondok Bonang sebagaimana banyak disebut dalam banyak naskah kuno tentang Sunan Kalijaga, adalah ilmu “Sangkan Paraning Dumadi”. Ilmu ini pada dasarnya menerangkan soal:
a.    Dari mana asal-usul kejadian alam semesta seisinya, termasuk di dalamnya tentang manusia.
b.    Kemana perginya nanti dalam kelenyapannya sesudah adanya,
c.    Apa perlunya semua itu adanya sebelum lenyapnya nanti,
d.    Apa perlunya manusia itu hidup dan
e.    Apa hidup itu sejatiya. Ilmu sangkan paraning dumadi
Inilah yang kemudian juga menjadi wejangan Sunan Kalijaga kepada para putra-wayah dan para muridnya sebagai dasar dan permulaan segala wejangan-wejangan.
2.    Menjadi Wali
Menurut sumber naskah sejarah yang mana pun Sunan Kalijaga disebut sebagai salah satu waliyullah yang termasuk dalam walisongo. Kedudukannya sebagai seorang wali, menurut Babad Majapahit  dan Para Wali, dikukuhkan di hadapan Sunan Giri yang dianggap sebagai ketua para wali di jawa. Dengan demikian, penetapan sebagai wali itu sesuai dengan ramalan semula semenjak Sunan Bonang diutus oleh ayahnya, Sunan Ampel Denta untuk mencari dan mempertobatkan Sunan Kalijaga sebagai upaya mempercepat proses ke arah kedudukannya sebagai wali.

Sebagai waliyullah, Sunan Kalijaga termasuk orang yang dikasihi allah, sebagaimana pengertian waliyullah adalah “kekasih allah”, Oleh karena itu sebagiaman lazimnya para wali, Sunan Kalijaga memiliki “karamah” pemberian dari Allah berupa keunggulan lahir dan batin yang tidak bisa dimiliki oleh sembarang orang. Di samping itu, sebagai tanda kewalian, ia bergelar “Sunan” sebagaimana wali-wali yang lain. Menurutu salah satu penafsiran, kaata “sunan” berasal dari bahasa Arab, kata jamak dair “sunnat” yang berarti tingkah laku, adat kebiasaan. Adapun tingkah laku yang dimaksud adalah yang serba baik, sopan santun, budi luhur, hidup yang serba kebijakan menurut tuntunan agama islam. Oleh karena itu, seorang sunan akan senantiasa menampilkan perilaku yang serba berkebajikan sesuai dengan tugas  mereka berdakwah, beramar ma’ruf nahi munkar, memerintah atau mengajak ke arah kebaikan dan melarang perbuatan munkar.

Peran Sunan Kalijaga dalam berdakwah tampak dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan agama secara langsung ataupun dalam pemerintahan dan kegiatan seni dan budaya pada umumnya.

Diantara kasus kegiatan yang berkenaan dengan keagamaan, sebagaimana banyak disebut dalam naskah babad, adalah kegiatan Sunan Kalijaga bersama-sama wali yang lain dalam mendirikan masjid agung demak. Sudah jelas bahwa fungsi masjid, di samping menjadi sarana peribadatan, juga dipakai sebagai pusat kegiatan dakwah ketika itu sehingga dirasakan perlu adanya, kendatipun sulit untuk menentukan secara pasti kapan masjid tersebut di dirikan. Banyak keterangan antar satu dengan yang lain saling bertentangan. 
Di antaranya pendapat-pendapat tersebut adalah:
1.    Menurut Candra Sangkala “naga Salira Wani” berasal dari gambaran petir di pintu tengah, adalah tahun 1388 saka atau tahun 1466 M.
2.    Ada yang mengatakn berdirinya masjid demak itu pada tahun 1401 saka, ataupun tahun 1479 M. berdasarkan gambaran binatang bulus (penyu) di dalam tembok pengimaman (mihrab) masjid demak, karena gambar bulus itu diartikan sebagai berikut:
Kepala bulus     : 1
Empat kaki     : 4
Badan Bulus     : 0
Ekor Bulus     : 1
3.    Ada lagi yang mengatakan, bahwa berdasarkan tulisan dalam bahasa jawa yang terpacang di pintu muka sebelah atas, bunyinya adalah “Hadegipun masjid yasanipun para wali, nalika tanggal 1 dulka’idah tahun 1428”, yakni bertepat dengan h ari kamis Kliwaon malam ju’at legi atau tahun 1501 M.
4.    Menurut “Serta Kanda”, jadinya masjid Demak pada thun 1328 saka atau tahun 1407 M. hal ini sebenarnya lebih tidak masuk akal, karena raden patah mulai menjadi raja adalah sekitar 1477 M. dengan demikian, jarak antara waktu mendirikan masjid (tahun 1407 menurut serat kanda) dengan diangkatnya menjadi raja (tahun 1477) adalah 70 tahun. Waktu 70 tahun adalah lam bagi jarak antara berdirinya masjid dengan diangkatnya menjadi raja. Yang lebih masuk akal adalah jarak antaramenetapnya raden patah di Glagah Wangi dengan saat mendirikan masjid serta menjadi raja itu dalam masa yang berurutan, dan dalam masa yang dekat atau tidak begitu lama.
5.    Menurut buku Babad Demak , berdirinya masjid Demak itu dapat diambil dari arti kata-kata “Lawang Trus Gunaning Janma”, yang menunjukkan angka tahun saka 1399 atau bertepatan dengan tahun 1477 M. keterangan ini kalu disesuaikan dengan gambar bulus, agak mendekati, karena mungkin tahun 1399 saka (=1477) itu sewaktu mulai meletakkan batu pertama, mulai membangun. Setelah dua tahun berjalan, maka jadilah masjid itu pada tahun 1401 Saka (=1479 M)sebagaimana yang dilambangkan dalam  gambar bulus, diperingati menurut Candra Sangkala Memet.
Masjid Agung Demak menjadi terkenal, tidak saja karena masjid ini dibangun oleh wali, tetapi karena salah satu saka gurunya terdiri dari serpihan kayu-kayu tatal karya dari Sunan Kalijaga yang dikenal dengan sebutan “soko tatal”. Keikutsertaan Sunan Kalijaga tidak hanya mengupayakan bahan-bahannya, tetapi juga ikut bermusyawarah sebelumnya.

Dituturkan dalam salah satu sumber bahwa pembangunan masjid Demak berjalan lancar, masing-masing wali mendapat tugs membwawa empat tiang besar, yaitu Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Purwaganda, Sunan Gunung Jati, Pangeran Palembang, Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Hanya Sunan Kalijaga sendirilah yang membawa tiga  buah. 

Jumlah semuanya delapan puluh tiga kurang satu, tatkala semuanya sudah siap, dan waktu mendirikan masjid tinggal satu hari, sementara saka guru kurang satu, maka Sunan Bonang menanyakan kepada Sunan Kalijaga akan tugasnya menyiapkan tiang saka guru itu. Sunan Kalijaga menyanggupinya, malam-malam menunggui orang mengapak (jawa:methel) kulit bagian luar, dikumpulkan serpihan-serpihan kayu itu, disusun, dilekatkan dengan lem Damar, kemenyan, blendok trembalo, lantas dibalut. Jadilah sebuah tiang dari tatal.

Adanya soko tatal ini adalah suatu kesengajaan, sebagai lambang kerohanian, bahwa pembuatan Soko tatal sebagai lambang kerukunan dan persatuan. Konon sewaktu mendirikan masjid agung demak, masyarakat Islam ditimpa perpecahan antara golongan, bahkan dalam bekerja mendirikan masjid itu pun terjadi perselisihan-perselisihan berbagai masalah kecil dan sepele. Sunan Kalijaga mendapat ilham, suasut petunjuk dari tuhan dan disusunlah tatal-tatal menjadi sebuah tiang yang kokoh.

Kasus lain juga bersamaan para wali yang lain adalah upaya memberantas ajaran akidah yang tidak benar atau pun sesat, yakni ajaran Pantheisme yang disebarkan oleh salah seorang yang semua termasuk dalam kelompok wali yaitu Syekh Siti Jenar. Dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa maupun Babad Tanah Jawi dituturkan bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati di hadapan sidang pengadilan para wali, termasuk Sunan Kalijaga. Hukum itu dijatuhkan kepada Syekh Siti Jenar oleh karena pengakuannya bahwa dirinya adalah Allah. Ajarannya ten tang ketuhanan yang bersifat Pantheisme di pandang sangat membahayakan karena mengakibatkan masyarakat islam ketika itu meninggalkan Syara’. Faham itu disebut juga faham Wahdatul Wujud manunggaling Kawula Gusti.

Dengan kasus hukuman mati terhadap Syekh Siti Jenar tersebut, Sunan Kalijaga bersama wali lainnya tidak kompromi dengan keyakinan yang memang sangat membahayakan, meskipun pendekatan yang dipakai para wali dalam berdakwah juga dengan menggunakan pendekatan sufistik, tetapi sufisme yang diantu oleh Kalijaga bukanlah sufisme yang beraliran pantheisme, tetapi sufisme yang tetap menganut aqiah ahlussunah wal jamaah.

Sebenarnya pandangan Sunan Kalijaga jika dibanding dengan pandangan Sunan Ampel maupun Sunan Giri terhadap sisa-sisa keyakinan agama lama itu lebih toleran, dalam arti tidak mau memberantasnya seketika. Sunan Kalijaga berpendirian, bahwa rakyat akan lari begitu dihantam dan diserang pendiriannya. 

Dakwah harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Adat istiadat rakyat jarang terus diberantas, tetapi hendaknya dipelihara dan dihormati sebagai suatu kenyataan. Adapun cara merubah nya adalah sedikit-demi sedikit, member warna yang baru kepada yang lama, mengikuti sambil mempengaruhi yang nanti diharapkan bila rakyat telah mengerti dan paham akan agama akhirnya mereka akan membuang sendiri mana yang tidak perlu dan merombak atau menghilangkan sendiri mana yang tidak sesuai dengan agama. Para wali sebaiknya bertindak mengikuti dari belakang sambil mempengaruhi, atau mengikuti kebudayaan lama sambil mengisi jiwa Islam.

Sikap seperti itu telah pada berbagai karyanya yang kalau dilihat dari kacamata kebudayaan cenderung mengarah pada akulturasi antara kebudayaan lama dengan kebudayaan yang baru hasil kreasinya ke arah yang lebih islami. 

Sementara itu, kalau dilihat dari segi akidah, Sunan Kalijaga cenderung pada sinkritisme. Sebagai contoh, pendirian seperti itu tampak salah satunya pada penciptaan lambang gambar bulus di Mihrab masjid agung Demak yang bisa dipandang sebgai hasil karyanya, sebagaimana ide pembuatan soko tatal. Bulus adalah binatang yang hidup di dua alam di daratan dan di air, dan menurut masyarakat Islam hukumnya haram,tetapi mengapa gambarnya ditempatkan pada mihrab masjid yang justru tempat suci bagi orang Islam. Ternyata itu juga merupakan suatu bentuk kebijaksanaan berdakwah ketika itu dimana pemeluk agama lama di ingatkan bahwa di dalam masjid juga ada suatu lambang kesucian dan keabadian, sebagaimana kepercayaan agama lama (Budha) memandang bulus sebagai binatang suci. Hanya saja, kesucian dan keabadian dalam Islam diperoleh dengan cara melaksanakan shalat berbakti ke pada Allah Yang Maha Esa, biar hidup abadi di alam baqa nanti dengan bahagia.

Dalam media dakwah yang lain juga tampak sikap Sunan Kalijaga yang demikian itu, baik dalam penciptaan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, termasuk juga kesenian wayhang. Bahkan terhadap kesenian wayang. Bahkan terhadap kesenian wayang ini Sunan Kalijaga dipandang sebagai tokoh yang telah menghasilkan kreasi baru, yaitu  dengan adanya wayang kulit dengan segala perangkat gamelannya. Wayang kulit ini merupakan pengembangan baru dari wayang b eber yang memang sudah ada sejak zaman Erlangga. Di antara wayang ciptaan Sunan Kaijaga bersama Sunan Bonang dan Sunan Giri adalah wayang Punakawa Pandawa yang terdiri dari semar, Petruk, Garang dan Bogong. Wayang itu sebagai media dakwah yang senantiasa dipergunakan oleh Sunan Kalijaga dalam kesempatan dawahnya di berbagai daerah, dan ternyata wayang ini merupakan media yang efektif, dapat mendekatkan dan menarik simpati rakyat terhadap agama. Kemampuan Sunan Kalijaga dalam mendalang (Memainkan wayang) begitu memikat, sehingga terkenalah berbagai nama samaran baginya dikenal dengan nam Ki Dalam Sida Brangti, bila mendalang  di Tegal dikenal dengan nama Ki Dalang Bengkok, tetapi bila mendalang di daerah Purbalingga terkenal dengan nama Ki Dalang Kumendung.

Peranannya dalam politik pemerintahan sudah dimulai sejak awal berdirinya kesultanan Demak sampai akhir Kesultanan itu. Bersama-sama dengan para wali yang lain, dalam suatu kelembagaan walisongo di mana salah seorang anggotanya adalah Sultan Demak sendiri, menunjukkan betapa penting peran wali ini dalam politik dan pemerintahan waktu itu. Dalam rangka dakwah Islam maka fungsi para waliyul amri itu adalah memberi nasihat tentang pelaksanaan tata pemerintahan agar senantiasa dijiwai roh Islam. 

Sebagai contoh, konon di antara wejangan Sunan Kalijaga teknik pembangunan kota Kabupaten maupun Kotapraja yang selamanya tampak di dalamnya terdapat empat bangun yaitu: 
1) istana Keraton atau Kabupaten, 
2) alun-alun, 
3) satu atau dua pohon beringin, 
4) masjid. 

Letaknya juga sangat teratur, yaitu letak kabupaten atau kraton selalu memangku alun-alun dengan pohon beringin di tengah alun-alun, membelakangkan gunung atau menghadap laut, dan letak masjid selalu di sebelah baratnya. Tata letak yang sedemikian itu di dasarkan atas falsafath baldatun thoyyibatun wa rabun Ghafur, negeri yang sejahtera diridhai oleh Tuhan. Akan tetapi peran para wali yang terdiri dari delapan orang waliyul amri dan seorang imam itu pada zaman kesultanan pajang sudah tidak berfungsi lagi, karena pada masa ke kesultanan ini lembaga walisongo telah dibubarkan dan diganti dengan lembaga baru yang terdiri dari seorang Sultan Dan delapan orang nayaka atau pelayanan.

3.    Akhir Hayat Sunan Kalijaga
Tidak jelas kapan Sunan Kalijaga wafat, tetapi secara umum masyarakat memaklumi bahwa makam Sunan Kalijaga berada di desa Kadilangu. Tiap tahun tanggal 10 Dzulhijah diadakan ziarah resmi yang diselenggarakan oleh panitia besaran ziarah resmi yang diselenggarakan oleh panitia besaran dari Masjid Agung Demak ke makam Kadilangu. Memang Babad Tanah Jawi menuturkan kepindahan Sunan Kalijaga dari Cirebon ke demak dan menetap di Kadilangu. Kepindahan itu atas permintaan sultan. Setiap bulans ekali Sunan Kalijaga datang ke Demak dari tempat tinggalnya di Kalijaga, Cirebon. Dituturkan dalam buku itu bahwa yang menjemput adalah Sultan sendiri dengan disertai dua puluh ribu pengikut. Di Kadilangu pekerjaan Sunan Kalijaga mengajar mengaji agama Rasul, sehingga banyak pula murid yang menetap di dusun itu.

Akan tetapi adalah pendapat lain yang mengatakan bahwa Sunan Kalijaga dimakamkan di Cirebon. Kira-kira dalam jarak 2 ½ Km. Ke arah barat daya darikotad Cirebon di sana terdapat pula sebuah desa bernama Kadilangu. Di desa inilah Sunan Kalijaga dimakamkan dan memang desa itu pula merupakan tempat tinggal resmi sewaktu beliau masih hidup. Makam Sunan Kalijaga dikeramatkan oleh masyarakat setempat dan ramai diziarahi orang sebagai mana makma di Kadilangu Demak. Mereka yang mempercayai bahwa Sunan Kalijaga di makamkan di Cirebon mengajukan bukti bahwa masjid kesepuhan alun-alun Cirebon terdapat soko tatal seperti halnya yang terdapat di Demak. Dan menurut kepercayaan mereka, yang dimakamkan di Kadilangu Demak itu hanyalah benda-benda peninggalan nya saja. Beberapa sumber yang membenarkan keterangan itu antara lain:
1.    Serat Sejarah Banten, oleh Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat.
2.    Serat Walisongo, dari Sadu Budi, 1955
3.    Serat Syekh Malaya, dari Musium Sana Pustaka
4.    Babad Cirebon, Penghulu Abdul Qohar
5.    Kitab Wali Sepuluh, oleh Tan Koen Swie, 1950
6.    Menurut K.G.P.H. Hadiwijaya, Sunan Kalijaga adalah seorang wali yang berasal dari harjamukti, sebuah dusun yang berjarak kira-kira 2 ½ Km. Sebelah selatan kota Cirebon. Ia menetap di dusun itu dan dimakamkan di sana pula.
Kenyataan adanya dua makam bagi Sunan Kalijaga bukanlah merupakan hal yang mengherankan, karena beberapa tokoh wali yang lain dipercayai oleh masyarakat mempunyai makam di berberapa tempat. Namun, menurut para ahli, bila terdapat makam dari satu pribadi di dua tempat, maka jasad nya tetap dimakamkan di satu tempat saja, sedangkan makam yang lain hanyalah merupakan petilasan atau penguburan barang-barang peninggalan tokoh yang bersangkutan.
Catatan Kaki
1.    Lembaga Riset dan Survai IAIN Walisongo semarang, Bahan-bahan Sejarah Islam di Jawa Tengah Bagian Utara, Laporan Penelitian, 1982, hlm. 17
2.    Amen Budiman, Walisanga Antar Legenda dan Fakta Sejarah, Penerbit Tanjung Sari, Semarang, 1982, hlm. 69
3.    Ibid, hlm. 70
4.    Lembaga Research & Survey IAIN Walisongo Semarang, Op.Cit, hlm. 17
5.    Umar Hasyim, Sunan Kalijaga, Penerbit Menara, Kudus, 1974, hlm. 4
6.    Ibid,
7.    Ibid, hlm. 5
8.    Ibid, hlm. 9
9.    Ibid, hlm 10-11
10.    Amen Bidiman, Op.Cit, hlm, 66-69
11.    Ki M.A. Machfoed, Sunan Kalijaga, Jilid I, Penerbit Yayasan An-Nur, Yogyakarta, 1970, hlm. 23-24
12.    Amen Budiman, Op.Cit. hlm. 68
13.    G.P.H. Hadiwidjoyo, Kalidjaga, Saresehan Radyapustaka, Surakarta, 7Mei 1956, hlm. 5
14.    Ibid, hlm. 14-16
15.    Ibid, hlm. 8
16.    Ibid, hlm. 13
17.    Ki M.A. Machfoed, Op. Cit. hlm. 14-17
18.    Ibid, hlm. 19
19.    Amen Budiman, Op. Cit. hlm. 69
20.    Ki M.A. Machfoed, Op. Cit, hlm. 21
21.    Amen Budiman, Op. Cit. hlm. 18
22.    Ki. M.A. Machfoed, Op. Cit. hlm. 18
23.    Umar Hsyim, Op. Cit. hlm. 67




No comments:

Post a Comment

Contact Us

Name

Email *

Message *

Back To Top