Menurut kepercayaan sebahagian orang
Jawa dan masih lestari hingga kini, seorang pemimpin tidak akan kuat menduduki
kursinya bila tanpa didukung piandel dan pusaka-pusaka sakti. Sejauh mana
kebenaran dari kepercayaan ini?
Bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia ,
khususnya Jawa, ini bukan hal aneh lagi. Kepercayaan yang tidak diketahui sejak
kapan berlaku itu dianggap suatu keharusan bagi setiap pemimpin bila tak ingin
tahtanya segera jatuh. Yang pasti, ini bukan hanya cerita para raja dan sultan
di masa lalu, tetapi para elit politik sekarang pun masih banyak yang
mempercayai kekuatan atau tuah pusaka-pusaka sakti dengan berbagai bentuknya.
Keris Nogososro memang memiliki latar
belakang politik yang kental, terutama dalam hubungannya dengan suksesi
kepemimpinan kesultanan Demak Bintoro di masa silam. Dalam riwayatnya, keris Nogososro merupakan pesanan dari Sultan
Trenggono untuk menentukan calon penggantinya. Karena ada trah keturunan yang
dipandang memiliki kapabilitas dan akseptabilitas yang sama untuk menduduki
kursi kepemimpinan setelah dia wafat.
Dalam sejarah dinyatakan bahwa dua trah
kesultanan Demak yang memiliki peluang untuk menjadi pemimpin pasca Sultan
Trenggono yakni trah Sidolepen yang diawali oleh Aryo Penangsang, dan trah
Trenggono. Kedua trah tersebut sesungguhnya adalah masih bersaudara.
Berawal dari persoalan itu, maka para
wali mengusulkan kepada Sultan Trenggono untuk memesan keris Nogososro, sebagai
pusaka andalan sekaligus sebagai media sayembara, yang kira-kira berisi:
"Siapa yang mampu memegang atau menguasai keris tersebut, dialah yang
berhak menduduki tahta."
Ternyata sayembara itu dimenangkan oleh
Joko Tingkir atau Hadiwijoyo, anak angkat Sultan Trenggono. Sejak saat itu,
keris Nogososro menjadi legenda masyarakat.
Menurut riwayat, pusaka ini sempat
hilang dari keraton dan menjadi rebutan para pendekar Tanah Jawa. Akibat hilang
keris Nogososro pada waktu itu di seluruh kerajaan Demak Bintoro goncang.
Pasalnya, kraton khawatir pusaka yang sangat ampuh itu jatuh ke tangan orang
yang tidak bertanggungjawab. Namun untungnya, atas upaya salah seorang punggawa
kerajaan Demak yang terkenal sakti dan berbudi luhur, pusaka tersebut dapat
ditemukan kembali.
Orang yang berjasa besar itu bernama
Mahesa Jenar, yang merupakan saudara seperguruan Kebo Kenongo atau Ki Ageng
Pengging, sekaligus murid kinasih pangeran Hanyaningrat. Dalam satu riwayat,
pusaka Nogososro biasanya selalu disandingkan dengan dua keris lagi yakni,
Sabuk Inten dan Sengkelat, Sabuk Inten untuk kewibawaan, sedang Sengkelat untuk
kamukten.
Namun dari sekian keris yang ada,
keampuhan Nogososro tak ada yang mampu menandinginya. Dengan sawabnya,
keampuhan pusaka yang lain dapat tertindih, bahkan hilang sama sekali.
Asal usul Keris Nogososro, diriwayatkan keris Nogososro
dibuat oleh Empu Supo Mandrani, yang hidup pada zaman kerajaan Majapahit.
Tetapi versi lain menyebutkan bahwa pusaka ini, sesuai dengan namanya, tercipta
dari lidah sesosok makhluk berbentuk ular naga yang sangat sakti. Namanya, Nogososro.
Alkisah, Pada zaman dahulu, seorang
lelaki sakti mandraguna bernama Manggir terbang menggunakan selembar tikar
permadani meninggalkan tanah kelahirannya dari Baqhdad. Dia berniat melakukan
perjalanan menuju sebuah pulau yang terbuat dari reruntuhan gunung Himalaya dan berbentuk seperti naga. Pulau tersebut tak
lain dan tak bukan adalah pulau Jawa.
Kedatangan Manggir di pulau Jawa
bersamaan dengan turunnya patung Al-Atha dari India . Kedatangan patung ini
diiringi awan kemupus dan kelompok orang yang memujanya. Dan bersamaan pula
dengan itu, terjadi peristiwa alam yaitu gerhana matahari total.
Setelah beberapa lama tinggal di pulau
Jawa, Manggir dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa di tempat yang baru ini
terdapat banyak sekali gunung berapi, yang kapan saja bisa meletus dan
membinasakan penduduknya. Karena itulah Manggir bermaksud untuk melakukan tapa
brata, dengan tujuan mendinginkan gunung berapi yang ada di pulau ini.
"Aku akan pergi ke salah satu
gunung berapi di pulau ini untuk bertapa. Bila sekiranya ada keturunanku yang
ingin bertemu, suruh dia mencariku ke sana ,"
pesan Manggir kepada Ratu Perangin angin, isterinya.
Seorang pun tak ada yang mengetahui, di
gunung berapi yang mana sebenarnya Manggir bertapa. Sebab di tanah Jawa ini, gunung
berapi ada puluhan jumlahnya. Karena itu, hingga kini tetap misterius.
Dikisahkan, Manggir bertapa sampai
ratusan tahun lamanva sampai mimpikan, dia dapat mengirimkan rohnya untuk
sesekali menggauli isterinya, sehingga suatu ketika, Ratu Perangin-angin
mengandung.
"Jika suamiku menguasai gunung dan
daratan, sedangkan aku penguasa Laut Selatan, semoga anakku berkuasa atas
keduanya," doa Ratu pada suatu hari sambil mengelus-elus perutnya yang
sedang hamil besar.
Ketika lahir, ternyata anak yang
dikandung Ratu bentuk fisiknya bak ular naga. Tak hanya itu, perkembangan tubuh
si anak juga begitu cepat, sehingga dalam waktu yang relatif singkat telah
menjelma menjadi seekor naga raksasa yang sangat ganas. Sesuai dengan
keadaannya, si anak diberi nama Nogososro.
Dikisahkan, apabila Nogososro berjalan
atau merayap, maka langkahnya menggetarkan permukaan bumi dan mengakibatkan
banyak gunung terancam meletus.
Sampailah pada suatu hari Nogososro
bertanya kepada ibunya, "Hai lbuku, tunjukkan di mana gerangan ayahku
berada? Mengapa aku tidak seperti manusia biasa, sehingga tak seorangpun
makhluk yang mau bergaul denganku? Aku akan mencari ayah dan meminta padanya
agar tubuhku dirubah seperti manusia biasa."
Ratu Perangin-angin tak dapat menjawab,
karena dia sendiri merasa bahwa hal itu di luar kehendak dirinya. Dia sendiri
tak dapat menjelaskan di mana keberadaan ayah dari anaknya, sebab dia tak tahu
di gunung mana suaminya bertapa.
Karena jawaban sang ibu, akhirnya Nogososro
dengan membawa perasaan yang sangat pilu, pergi mencari ayahnya. Setelah sekian
lama mencari, akhirnya dia menemukan ayah yang dicarinya di sebuah gunung
berapi di tepi pantai.
Melihat sosok anaknya, Manggir terkejut
bukan kepalang. Namun bersamaan dengan itu, tiba-tiba kini terbuka olehnya tentang
siapa Ratu Perangin-angin sebenarnya.
Wanita berparas jelita itu ternyata
jelmaan dari Patung Al-Atha. Manggir baru menyadari bahwa telah mengambil
langkah keliru, mencampurkan yang gaib dan yang kasar, dan yang putih dengan
yang hitam.
Dan yang terjadi kini adalah suatu
ancaman baru bagi seluruh penduduk pulau Jawa di masa mendatang. Ya, Nogososro
adalah sumber dari ancaman itu.
Karena merasa sangat malu, Manggir
enggan mengakui Nogososro sebagai anaknya. Namun dia tidak secara
terang-terangan menyatakan hal itu, melainkan dengan sebuah taktik. Disuruhnya
Nogososro melilitkan tubuhnya ke sekeliling gunung tempatnya bertapa. Dengan
pesan, apabila ekornya bisa menyentuh kepalanya, maka dia akan diakui sebagai
anaknya.
Kenyataannya, kepala dan ekor Nogososro
tidak bisa saling menyentuh, meskipun sebahagian tubuhnya telah masuk ke dalam
gunung karena kuatnya dia melilit.
Sambil menitikkan air mata, Nogosoro
lalu menjulurkan lidahnya agar dapat mencapai ekor. Usahanya ini berhasil.
Tetapi Manggir tidak bisa menerima kenyataan itu. Dia menganggap bahwa
Nogososro telah berbuat curang. Manggir mencabut kerisnya, kemudian membabat
lidah anaknya. Apa yang terjadi?
Sungguh luar biasa! Lidah Nogososro yang
terputus mengeluarkan api seperti petir yang sangat dahsyat. Seketika Pulau Jawa
bergoncang dengan hebatnya. Akibatnya, bagian timur pulau Jawa terputus-putus
menjadi pulau-pulau kecil. Dan pulau Jawa yang tadinya berbentuk mirip seekor
ular naga, kini berubah menjadi seperti harimau.
Seiring dengan itu, Nogososro yang sangat
terkejut dengan tindakan ayahnya yang telah memutuskan lidahnya, serta merta
mencengkeram lereng gunung sekuat-kuatnya sambil menahan amarah dan rasa sakit.
Akibatnya, gunung tempat Manggir melakukan tapabrata meletus dengan teramat
dahsyat.
Begitu dahsyatnya letusan tersebut sehingga
seluruh puncak gunung serta dasarnya terlempar ke Laut Selatan, dan lubang
bekasnya kemudian terisi air laut, membentuk sebuah teluk dengan kedalaman
lebih dari 5 km. Teluk itu yang kemudian dikenal dengan nama Teluk Pelabuhan
Ratu.
Sementara itu Manggir dan Nogososro,
keduanya sempat terpental ke angkasa. Namun karena kesaktian mereka tak ada
yang mengalami cidera walau sedikitpun. Meskipun demikian, karena mereka lebur
bersama lahar dan batu, kini tubuh ayah dan anak itu berubah wujud secara
total. Manggir rnenjelma menjadi patung batu, yang terkadang berpindah tempat
dari satu gunung ke gunung yang lain.
Sementara itu, Nogososro yang tubuhnya
sangat besar dan panjang, menjadi naga batu yang terbentang hingga saat ini.
Demikian pula tangannya yang mencengkeram gunung berapi tempat Manggir bertapa,
sampai sekarang masih bisa dilihat.
Dengan adanya perubahan wujud tersebut,
bahaya dari tangan kanan Nogososro memang telah berlalu. Tetapi bahaya dari lidahnya
yang terputus, masih mempengaruhi manusia sampai saat ini. Konon, lidah yang
putus tersebut turun bersama petir Liwe Muser, tempat pertemuan lima buah sungai. Akibatnya
di tempat itu rnenjelma lubuk yang dalamnya mencapai lima batang bambu lebih. Sementara tanah
disekitar sungai rekah-rekah, membentuk lima
buah goa.
Di tempat itulah lidah Nogososro berubah
menjadi sebilah keris berbentuk lidah naga, terbuat dari logam yang tidak
dikenal oleh siapapun. Untuk mengamankan lidah Nogososro, Manggir yang masih
bertapa di atas punggung anaknya yang telah menjadi gunung batu di Pelabuhan
Ratu, terus memanjatkan doa. Dia berharap selalu ada orang yang mengiring
jalannya lidah tersebut. Dan dapat menghentikan akibat-akibat buruk yang
ditimbulkannya.
Kata seorang ahli supranatural, bila suatu
saat kita melakukan rekreasi ke Pelabuhan Ratu, jangan lupa memandang ke puncak
gunung Jayanti. Katanya, itu sebenarnya adalah kepala Nogososro.
Bila kerabat akarasa ingin melihat
tangan kanan sang naga, bisa datang ke Goa Gedong Manik Taman Srimegan dari
Patugurun. Adapun tempat putusnya lidah Nogososro, tepat di Sungai Cimandiri
sekarang, di suatu tempat yang disebut Bagbagan.
Dari kedua versi kisah di atas, tentang
asal-usul keris Nogososro, manakah yang benar? Entahlah! Yang jelas, pusaka
Nogososro hingga sekarang banyak diburu orang, terutama para pejabat. Tetapi,
tentu saja tak sembarang orang yang dapat memilikinya. Bahkan kabarnya, pusaka
ini hanya bisa diperoleh oleh mereka yang benar-benar berjodoh untuk
memilikinya.
Bung Karno adalah tokoh yang
disebut-sebut pernah memiliki keris Nogososro. Demikian pula halnya dengan
Soeharto. Konon, mereka dapat memiliki keris sakti tersebut setelah melakukan
suatu ritual yang sangat berat. Benarkah kisah ini? Sekali lagi, semuanya
masih menjadi teka-teki yang sulit dicarikan jawabannya.
No comments:
Post a Comment