Indonesia Darurat Narkoba dan Jejak Pabrik Sabu Terbesar Ketiga di Dunia

Indonesia Darurat Narkoba dan Jejak Pabrik Sabu Terbesar Ketiga di Dunia



Jakarta - 
Mabes Polri pernah membongkar pabrik narkoba di Tangerang yang menjadi pabrik terbesar ketiga di dunia pada 2005. Sayang, 11 tahun berlalu, sembilan orang yang terlibat di kasus itu belum ada yang dieksekusi mati.



Kasus ini bermula saat Benny Sudrajat membeli sebuah gudang di Kompleks B, Balaraja, Tigaraksa, Tangerang, pada 2001. Dua tahun setelahnya, Benny pergi ke Hong Kong dan bertemu mafia narkoba setempat, Peter Wong. Dari tangan Peter Wong, Benny mendapat modal Rp 1 miliar untuk membangun pabrik narkoba. Benny menyanggupi dan pulang ke Indonesia. Benny membeli sebuah gudang lainnya di Kompleks Industri Batik, Sepatan, Tangerang, dan menyulap gudang tersebut menjadi pabrik narkoba.

Dalam operasional pabrik ini, Benny lalu mengontak jaringannya yaitu:

1. WN Belanda Nicolas Josephus Gernardus sebagai koki alias tenaga ahli pembuah psikotropika.
2. WN Prancis Serge Atlaoui sebagai teknisi mesin pembuat zat psikotropika.
3. Benny bertindak sebagai big bos dan penyandang dana.
4. Iming Santoso sebagai Direktur PT Sumaco, sebuah perusahaan untuk mengelabui petugas aktivitas pabrik tersebut.
5. Lima WN China yaitu Zhan Manquan, Gan Chunyi, Chen Hongxin, Jiang Yuxin, Zhu Xuxiong yang bertugas sebagai tenaga ahli pembuat narkoba.
6. Samad sebagai penjaga gudang.
7. Arden Christian sebagai petugas administrasi pabrik.
8. Hendra Raharja sebagai pembantu umum.
9. Toto Kusnadi sebagai petugas kebersihan.
10. Marodi, Stanley dan Once sebagai karyawan.


Langkah pertama yang dilakukan adalah mendatangkan Zhan Manquan, Gan Chunyi, Chen Hongxin, Jiang Yuxin, Zhu Xuxiong dari China pada 11 November 2003. Mereka bertugas menyiapkan pabrik seperti mengeset alat produksi, mengecek bahan baku dan menata peralatan lainnya. Setelah itu, mereka kembali pulang ke China.

Pada awal 2014, bahan baku narkoba dikirim Peter Wong dari Hong Kong. Bahan baku itu lalu ditempatkan di sebuah gudang di Kampung Citawa, Serang.

Setelah semua peralatan dan bahan baku siap, Benny mengontak Nicolas untuk datang ke Indonesia. Pada Maret 2004, Nicolas dan Serge tiba di Bandara Soekarno-Hatta setelah terbang 16 jam dari Amsterdam. Keduanya istirahat 4 malam di sebuah hotel di Slipi. Di hari kelima, mereka ke lokasi pabrik dan mulai meramu bahan baku menjadi bahan baku ekstasi dan sabu. Proses pembuatan dilakukan kurang lebih 48 jam. Setelah selesai, Nicolas pulang ke Amsterdam.

Produksi lalu dilanjutkan oleh Zhan Manquan, Gan Chunyi, Chen Hongxin, Jiang Yuxin, dan Zhu Xuxiong. Kelimanya tiba di Indonesia pada 12 Mei 2004 dan langsung ke pabrik memproduksi narkoba. Pada pertengahan Mei, giliran Nicolas kembali datang dari Amsterdam dan ikut bergabung ke pabrik tersebut. Hasil produksi Nicolas dan Zhan Manquan, Gan Chunyi, Chen Hongxin, Jiang Yuxin, dan Zhu Xuxiong dicetak menjadi ribuan butir pil ekstasi dan dibungkus dalam sebuah plastik. Satu plastik sebanyak seribu butir. Kemudian plastik itu dimasukkan ke dalam kardus dan dikirim ke berbagai tempat di Indonesia dan Asia Tenggara.

Setiap kali datang, Nicolas dibayar 2 ribu Euro.


Pada Maret 2005, Nicolas datang bersama Serge. Nicolas mengajak Serge karena akan memindahkan lokasi pabrik narkoba tersebut sehingga butuh Serge yang ahli dalam bidang instalasi pabrik dengan spesialisasi las. Sambil menunggu pemindahan pabrik, Serge melihat Nicolas meracik bahan baku narkoba itu.

Pembuatan ini dilakukan berulang-ulang dan berkali-kali sehingga bisa membuat jutaan butir ekstasi dan ratusan kg sabu.

Pada 14 April 2005 sempat terjadi kebakaran pabrik sehingga operasi dihentikan sementara. Ekstasi dan sabu yang telah berhasil diproduksi lalu diimpor ke Filipina dengan disarukan ke dalam paket keramik. 

Sebulan setelahnya, operasi pabrik kembali berdenyut dengan memindahkan lokasi pabrik ke Cikande, Serang. Benny Sudrajat merogoh kocek Rp 3,1 miliar untuk membeli lahan pabrik tersebut. Untuk menyarukan bisnisnya, dibuatlah perusahaan kamuflase PT Sumaco Jaya Abadi.

Operasi pabrik mulai berjalan pada Juli 2005 dengan tim lengkap yaitu Nicolas, Serge, Zhan Manquan, Gan Chunyi, Chen Hongxin, Jiang Yuxin dan Zhu Xuxiong serta karyawan lainnya. Di pabrik ini dibangun lebih modern yaitu ada ruang laboratorium, rak-rak besi, gudang, pintu rahasia dan mess karyawan. Dalam sehari, pabrik ini bisa memproduksi 8 ribu pil ekstasi dan 25 kg sabu.

Setelah dihasilkan ribuan kg sabu dan jutaan butir ekstasi, barang dikeluarkan dalam paket kecil dan dipool di sebuah gudang di Kompleks Pergudangan Jatake. Mereka mendapatkan bahan baku dari Hong Kong. Menggunakan nama PT Sumaco, operasional pabrik seakan-akan benar-benar legal dan dari luar tampak seperti pabrik perindustrian biasa. Nicolas dan Serge kerap mengingap di mess berhari-hari untuk memastikan produksi berjalan lancar dan mesin pabrik tidak rusak. 

Tapi sepandai-pandainya menutupi kejahatan, polisi akhirnya mencium juga. Pada 11 November 2005 aparat dari Dir IV/TP Narkoba Bareskrim Polri menggerebek pabrik itu. Nicolas tertangkap basah sedang menyaring campuran kimia piperonil metil keton dan Serge sedang istirahat usai mengganti elemen mesin destilasi yang baru. WN China lainnya tengah mengoperasikan pabrik seperti memindahkan drum dan sebagainya.

Bagaimana dengan big boss-nya? Ternyata Benny siap-siap pergi ke Singapura dan digerebek di Bandara Soekarno-Hatta. Adapun Aming ditangkap di sebuah hotel di Jakarta Barat dan sisanya di gudang lainnya. Saat digerebek, polisi mendapati 125 kg sabu dan ribuan ekstasi siap edar. 
 
Atas keberhasilan Mabes Polri itu, Presiden SBY meninjau langsung lokasi keesokan harinya. Dunia internasional mencatat ini adalah pabrik narkoba ketiga di dunia.

Komplotan ini lalu diadili dan sembilan orang di antaranya dihukum mati. Sembilan orang yang dihukum mati di kasus itu adalah:


1. Benny Sudrajat alias Tandi Winardi
2. Iming Santoso alias Budhi Cipto
3. WN China Zhang Manquan
4. WN China Chen Hongxin
5. WN China Jian Yuxin
6. WN China Gan Chunyi
7. WN China Zhu Xuxiong
8. WN Belanda Nicolas
9. WN Prancis Serge

Benny yang juga Ketua 'Tangerang Nine' dijebloskan ke LP Nusakambangan. Tapi ternyata ia tidak kapok dan di LP Pasir Putih, Nusakambangan, tetap leluasa mengendalikan pembangunan pabrik narkoba di Pamulang, Cianjur dan Tamansari pada 2009-2010. Ia memanfaatkan dua anaknya yang masih bebas untuk kembali membangun pabrik narkoba. Benny lalu diadili lagi oleh pengadilan dan karena sudah dihukum mati maka ia divonis nihil.

Serga dan Nicolas lalu mengajukan peninjauan kembali (PK) dengan alasan hukuman mati melanggar HAM dan melanggar kekuasaan Tuhan. Tapi apa kata MA?

"Hakim dalam menjatuhkan pidana mati tidak melanggar kekuasaan Tuhan sepanjang pemeriksaan perkara dilakukan secara tepat, benar, jujur, objektif dan adil. Judex juris (Pengadilan Negeri-Pengadilan Tinggi) telah menjalankan amanat atau perintah undang-undang. Di negara Republik Indonesia, pidana mati tidak melanggar hukum, konstitusi, UUD 1945 maupun HAM," putus majelis sebagaimana dikutip dari website MA, Jumat (26/2/2016). 



Serge sempat akan dieksekusi mati pada 2015 tetapi tiba-tiba Jaksa Agung Prasetyo menundanya. Hingga hari ini, belum ada satu pun orang dari 9 nama di atas yang dieksekusi mati.

"Ya nanti kita lihatlah. Selama ini kita masih prioritaskan hal lain yang tentunya perlu diskalaprioritaskan, seperti perbaikan ekonomi," kata Jaksa Agung M Prasetyo di Istana Negara, Jakarta, Kamis (25/2). 










1 comments:

  1. apple watch 6 titanium - Titanium Sports
    If you like to bet on burnt titanium the Apple microtouch solo titanium Watch, it toaks titanium is important to know whether the Apple man titanium bracelet Watch works or not. Apple Watch 4 is a unique watch benjamin moore titanium made of

    ReplyDelete

Contact Us

Name

Email *

Message *

Back To Top